Pendirian Rumah Belajar Poso diinisiasi oleh SKP-HAM Sulteng dan AJAR bertempat di Dusun Buyu Katedo. Buyu Katedo sendiri merupakan sebuah dusun kecil di pebukitan, sekitar 15 km ke arah timur dari Kota Poso. Secara administratif, Dusun Buyu Katedo merupakan bagian dari Desa Sepe, Kecamatan Lage. Sebagian warga kerap melafalkan nama Buyu Katedo sebagai Buyung Katedo. Pelafalan ini tidak terlepas dari para penutur bahasa Bugis, yang cukup banyak tersebar di wilayah Poso dan sekitarnya, yang lazim membubuhkan akhiran [-ng] dalam dialek mereka.
Buyu Katedo dibuka dan dirintis menjadi lahan kebun dan pertanian pada tahun 1981 oleh (Alm.) K.H. Abdul Karim Lamasitudju, ayahanda Nurlaela Lamasitudju, bersama sejumlah warga dari Desa Tongko, Desa Toyado, Desa Tegalrejo, dan warga beretnis Bugis yang berdiam di Poso. Saat itu, mereka menanam padi ladang, jagung, sayur-mayur, dan berbagai jenis buah-buahan. Kini, seiring dengan bergulirnya waktu, lahan di Buyu Katedo penuh dengan pohon coklat. Hanya satu-dua yang masih menggarap padi ladang dan jagung; meskipun buah-buahan, terutama langsat (Lansium domesticum), tetap dipertahankan dan berjejak sampai sekarang.
Semasa berlangsung Konflik Poso, Buyu Katedo menjadi salah satu wilayah yang terdampak. Pada 3 Juli 2001, Dusun Buyu Katedo mendapat serangan dari sekelompok orang perpakaian ala ninja yang datang dari arah Desa Sepe dan Silanca. Akibat dari penyerangan itu, 14 orang warga muslim Buyu Katedo yang umumnya warga pendatang dari Sulawesi Selatan terbunuh secara sadis. Pascaterjadinya “Peristiwa Buyu Katedo” tersebut, sebagian besar warga sempat meninggalkan Dusun Buyu Katedo.

Nama-nama korban dalam Peristiwa Buyu Katedo, 3 Juli 2001.
Dampak Peristiwa Buyu Katedo
Ada sejumlah dampak yang muncul dari terjadinya peristiwa itu. Segelintir orang kemudian menjadikan Peristiwa Buyu Katedo sebagai salah satu alasan untuk melakukan aktivitas radikal-bersenjata yang dipandang berbahaya dan mengancam keamanan negara. Selain itu, meskipun belum tergali secara mendalam, sejumlah warga Buyu Katedo sendiri, terutama yang termasuk sebagai keluarga korban, sepertinya masih menanggung trauma. Peristiwa itu terkesan masih dipandang sebagai sesuatu yang sensitif sehingga mereka belum mau membicarakan peristiwa itu secara terbuka.
“Peristiwa itu sudah kami lupakan. Kini kami sudah kembali terbiasa seperti dulu. Ketika Hari Natal, kami sudah pelesir (berkunjung) ke [Desa] Sepe (yang mayoritas Nasrani). Begitupun kalau Lebaran, mereka yang dari Sepe pelesir ke sini.”
—Sulaeman, warga Buyu Katedo
Dampak lainnya lagi, sampai saat ini Dusun Buyu Katedo sepertinya terstigma sebagai salah satu tempat yang “menakutkan”. Dari penuturan sejumlah warga, sebagian besar warga yang tinggal di sekitaran Dusun Buyu Katedo, terutama yang beragama Nasrani, masih enggan untuk datang ke Dusun Buyu Katedo.
Selama ini, belum (pernah) ada organisasi masyarakat sipil yang bekerja secara kontinyu mendampingi warga Buyu Katedo. Keluarga korban Peristiwa Buyu Katedo masih belum mendapatkan perhatian serius untuk bisa mendapatkan hak-hak mereka sebagai korban. Begitupun halnya dengan korban dan keluarga korban dari Desa Toyado dan Desa Sepe yang berada di sekitar Buyu Katedo. Hal yang justru terjadi, korban dan keluarga korban kerap menjadi “objek politik”, terutama di saat masa kampanye, baik ketika pemilu, pilkada, maupun pemilihan kepada desa.
“Anak saya adalah salah satu korban dari peristiwa itu. Seringkali kami dijanjikan akan diperhatikan. Kami bahkan pernah dijanjikanakan dibuatkan rumah. Pokoknya rumah akan dibuat jadi, kami tinggal diberi kunci. Jangankan rumah, bahkan kuncinya sekalipun sampai saat ini tidak pernah kami lihat.”
—Hadman, warga Buyu Katedo
Ikhtiar Rumah Belajar Poso
Berbagai hal yang terkait dengan Peristiwa Buyu Katedo dan Konflik Poso di masa lalu masih menjadi sesuatu yang terbilang sensitif. Dengan pertimbangan tersebut, Rumah Belajar Poso di Dusun Buyu Katedo tidak hadir untuk secara langsung untuk mengadvokasi hak-hak korban. Namun, memulainya dengan aktivitas berkebun ekologis untuk menata lingkungan, menumbuhkembangkan keberagaman, dan sekaligus merawat perdamaian. Aktivitas kebun ekologis akan menjadi titik masuk untuk pengorganisasian warga dan tempat belajar bersama, terutama belajar tentang “hak-hak warga”. Harapannya kemudian, hal itu akan berlanjut dengan pembelajaran mengenai “hak-hak korban” berserta bagaimana advokasinya.***